Manusia dalam menjalankan aktivitas budayanya tidak dapat terlepas dari ruang atau tempat dan perjalanan waktu sebagai suatu wujud perubahan, dan keterikatan manusia pada ruang dapat disimak pada lirik syair yang ditulis oleh seorang  pujangga besar India dalam bait-bait puisinya sebagai tersebut di atas yang berusaha mengungkapkan keindahan alam raya ini. Alam semesta tempat manusia berpijak senantiasa memberikankeharmonisan sepanjang manusia menghormati  alam semesta itu sendiri. Syair di atas mengungkapkan kecintaan Rabindranath Tagore terhadap alam persawahan yang hijau, dengan lingkungannya yang indah telah memberikan kehidupan bagi manusia secara lahir dan batin. Bagi masyarakat Bali yang menjadikan budaya sebagai potensi sawah adalah alam/tanah yang disucikan, di sawah berstana ”dewi kemakmuran” yang dilambangkan sebagai ”dewi Sri” . Oleh karena itu para petani di Bali meyakini bahwa alam persawahan atau pertanian. memunculkan ikatan  nilai-nilai sosial-religius.  Hal ini dapat dilihat bahwa setiap aktivitas bertani di Bali sarat dengan nilai-nilai religius yang dilakukan oleh para petani (Krama Subak).
Dalam kaitannya dengan permainan layang-layang ini, bahwa pada masa lalu salah satu aktivitas para petani dalam mengusir hama burung digunakanlah layang-layang yang bahannya dari daun yang pipih dan agak lebar, namun dalam bentuk kesederanaannya telah mampu memberikan makna terhadap para petani dari serangan burung. Beranjak dari pemanfaatan layang-layang oleh para petani dalam menghalau  burung-burung pipit sebagai salah satu hama padinya di sawah, itulah lambat laun semakin dirasakan manfaatnya dan dimana para petani mengkombinasikan dengan menggunakan atau memasang simbol orang-orangan untuk menakut-nakuti burung yang kemudian  sering disebut penakut / lelakut.